Hasil survei Indikator Politik Indonesia menunjukan sebanyak 54,9 persen warga bersedia divaksinasi COVID-19. Sementara 41 persen warga tidak atau kurang bersedia divaksin COVID-19 dengan alasan beragam dari mulai tidak percaya efektivitasnya hingga takut dengan efek sampingnya.
Metode survei ini dilakukan secara by phone karena situasi pandemi ini belum memungkinkan secara lebih masif melakukan survei face to face. Sampel sebanyak 1.200 responden dipilih secara acak dari kumpulan sampel acak survei tatap muka langsung yang dilakukan Indikator Politik Indonesia pada rentang Maret 2018 hingga Maret 2020.
Sebanyak 206.983 responden yang terdistribusi secara acak di seluruh nusantara pernah diwawancarai secara tatap muka langsung dalam rentang 2 tahun terakhir. Secara rata-rata, sekitar 70% di antaranya memiliki nomor telepon. Jumlah sampel yang dipilih secara acak untuk ditelepon sebanyak 7.604 data, dan yang berhasil diwawancarai dalam durasi survei, yaitu sebanyak 1.200 responden.
Dengan asumsi metode simple random sampling, ukuran sampel 1.200 responden memiliki toleransi kesalahan (margin of error/MoE) sekitar ±2.9% pada tingkat kepercayaan 95%. Sampel berasal dari seluruh provinsi yang terdistribusi secara proporsional. Survei dilakukan nasional pada 1-3 Februari 2021.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi mengatakan survei ini diawali berdasarkan pertanyaan ‘Jika vaksin Covid-19 sudah tersedia, apakah Ibu/Bapak bersedia melakukan vaksinasi Covid-19? …(%)?’. Sebanyak 15,8 persen menyatakan sangat bersedia, 39,1 persen menyatakan cukup bersedia, 32,1 persen menyatakan kurang bersedia, 8,9 persen menyatakan sangat tidak bersedia, 4,2 persen tidak jawab atau tidak tahu.
“Data kami menunjukkan survei Indikator 1-3 Februari yang menyatakan sangat bersedia itu 15,8 persen, cukup bersedia 39,1 persen, jumlahnya kurang lebih 55 persen nasional,” kata Burhanuddin dalam YouTube Indikator Politik Indonesia, Minggu (21/2/2021).
Lebih lanjut, Burhanuddin mengatakan sebanyak total 41 persen warga tidak atau kurang bersedia divaksinasi. Padahal survei tersebut dilakukan setelah Presiden RI Joko Widodo divaksinasi COVID-19 sehingga, menurutnya, Jokowi kurang berpengaruh terhadap peningkatan orang yang bersedia divaksinasi.
“Yang mengagetkan secara pribadi meskipun surveinya sudah dilakukan setelah presiden menjadi orang pertama untuk di vaksin itu masih banyak yang nggak bersedia total itu 41 persen, rinciannya 32,1 kurang bersedia, sangat tidak bersedia 8,9 persen,” ujarnya.
Burhanuddin menyebut, jika membandingkan survei Indikator bulan Desember dengan survei terbaru, jumlah warga yang tidak bersedia divaksinasi hanya turun 2 persen. Dengan demikian, perlunya tokoh-tokoh lain yang mempromosikan vaksin tersebut.
“Survei kami di bulan Desember yang tidak bersedia atau sangat tidak bersedia 43 persen jadi turun hanya 2 persen, efek Presiden Jokowi ada, tapi efeknya cuma 2 persen menurunkan mereka yang awalnya tidak bersedia menjadi bersedia. Tetapi yang kurang bersedia atau sangat tidak bersedia ini terlalu besar karena masih ada 4,2 persen yang nggak mau jawab,” ujarnya.
Sementara itu, responden yang menjawab tidak atau kurang bersedia divaksinasi mengemukakan berbagai alasan, di antaranya ada yang khawatir adanya efek samping yang belum ditemukan atau tidak aman sebanyak 54,2 persen, vaksin tidak efektif sebesar 27 persen, tidak membutuhkan karena badan sehat sebanyak 23,8 persen, tidak mau membayar untuk mendapat vaksin sebanyak 17,3 persen.
Ada juga yang beralasan vaksin mungkin tidak halal sebanyak 10,4 persen. Ada yang berpendapat banyak orang yang akan mendapat vaksin sehingga saya tak perlu di vaksin sebanyak 5,9 persen, serta ada yang berpendapat tidak mau di vaksin karena tidak mau masuk persekongkolan perusahaan farmasi yang membuat vaksin sebesar 3,1 persen, dan alasan lainnya 11 persen.
Berdasarkan analisis multivariate secara simultan, tampak etnis, agama, tingkat pendidikan, tingkat ancaman tertular virus dan tingkat kepercayaan terhadap efektivitas vaksin, berpengaruh signifikan terhadap kesediaan warga untuk diberi vaksin. Etnis berpengaruh signifikan dan positif terhadap kesediaan untuk di vaksin, kelompok etnis Jawa lebih tinggi kesediaannya terhadap vaksin.
“Agama berpengaruh signifikan dan negatif terhadap kesediaan untuk di vaksin, kelompok muslim lebih resisten terhadap vaksin. Kehalalan vaksin harus menjadi syarat mutlak, karena 81,9% warga hanya mau divaksin jika sudah dipastikan kehalalannya,” ujarnya.
Kemudian tingkat pendidikan, tingkat ancaman tertular virus dan tingkat kepercayaan terhadap efektivitas vaksin, berpengaruh signifikan dan positif, yaitu semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin merasa terancam akan tertular virus, dan semakin percaya terhadap efektivitas vaksin, maka kesediaan untuk divaksinasi semakin tinggi. Ini kemungkinan karena persoalan sosialisasi terkait perilaku pandemi yang kurang baik kepada publik.