Kubu Kepala KSP Moeldoko menggugat Partai Demokrat (PD) ke PN Jakpus. Kubu Moeldoko dinilai cuma modal nekat dalam melanjutkan perlawanan terhadap Ketum Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY.
Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (INDOSTRATEGIC) Ahmad Khoirul Umam menyebut lanjutnya perlawanan kubu Moeldoko karena kepalang basah dalam artian untuk menyelamatkan citra setelah kalah di Kemenkumham. Menurut Umam, kubu Moeldoko nekat tapi minim hitungan.
“Sayangnya, sikap nekat mereka tidak dibekali dengan legal standing yang kuat,” ujar Umam kepada wartawan, Rabu (7/4/2021).
Umam, yang merupakan dosen Universitas Paramadina, menyebut kubu Moeldoko tidak sadar terdapat Pasal 55 UU No 51 tentang PTUN yang menyebutkan bahwa negara telah memberikan tenggat 90 hari bagi pihak-pihak terkait yang ingin menyampaikan keberatan atau gugatan atas materi TUN, dalam konteks ini adalah AD/ART PD hasil Kongres V 2020.
Namun jika dicermati, kata Umam, hingga batas waktu itu berakhir, ternyata tidak ada yang menyampaikan keberatan. Akhirnya, katanya, materi AD/ART hasil Kongres V PD 2020 itu disahkan oleh Kemenkumham menjadi lembaran negara.
“Jadi pertanyaannya, mereka ke mana saja selama ini? Kenapa baru sekarang bersuara? Akibatnya, secara legal formal, posisi gugatan mereka menjadi lemah,” sebut Umam.
Mekanisme 90 hari itu, disebut Umam, diatur dalam Pasal 55 UU No 51/ 2009 tentang PTUN yang juga telah dikonfirmasi oleh Mahkamah Konstitusi (MK) saat melakukan sidang terkait hal serupa pada 2018-2019. Di situ, katanya, MK menyatakan bahwa batasan tenggang waktu, baik di PTUN, MK, maupun PN, bersifat mutlak. Pengajuan gugatan yang terlewat dinyatakan tidak dapat diterima.
“Sehingga jika pemohon mengajukan dalil yang menyatakan bahwa Pasal 55 UU PTUN tidak memberikan kepastian hukum atas pengujian keputusan TUN, berpotensi besar akan tidak diterima karena dinilai tidak beralasan menurut hukum,” sebut Umam yang bergelar doktor bidang politik itu.
Simak selengkapnya, di halaman selanjutnya: