Partai politik baru bermunculan menjelang pemilihan umum (Pemilu) 2024. Sebelumnya muncul Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, pendirinya para barisan sakit hati Partai Keadilan Sejahtera atau PKS: Anis Matta, Fahri Hamzah, Mahfudz Siddiq, Triwisaksana, dan Ahmad Riyaldi.
Lalu Partai Ummat yang dibentuk Amien Rais, setelah mengalami prahara di tubuh Partai Amanat Nasional (PAN) bersama Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan. Selain itu, Partai Rakyat Adil Makmur (Prima) yang didirikan oleh eks Ketua Umum PRD Agus Jabo Priyono.
Kemudian ada Partai Masyumi sebagai Partai Masyumi Reborn yang digalang oleh sejumlah tokoh Islam, salah satunya Ahmad Yani, eks politikus Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Di luar parpol sempalan yang digawangi politikus-politikus lawas itu, ada juga Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal yang membangkitkan kembali Partai Buruh pada Oktober 2021, setelah partai tersebut tak pernah berhasil meraih suara bagus dalam tiga kali pemilu (1999, 2004, dan 2009).
Teranyar, Partai Kebangkitan Nasional (PKN) yang dibentuk oleh eks Sekretaris Jenderal Partai Hanura, I Gede Pasek Suardika. Pasek didapuk sebagai ketua umum setelah mundur dari Hanura pada 28 Oktober 2021.
PKN ini diisi oleh loyalis Anas Urbaningrum, ketum Demokrat periode 2010-2013. PKN dinakhodai Gede Pasek yang mayoritas anggotanya adalah mantan kader Demokrat. Pasek sendiri merupakan mantan kader Demokrat dan pernah menjabat sebagai Ketua DPP Departemen Pemuda dan Olahraga 2010-2015.
Sejumlah mantan anggota DPR eks Partai Demokrat dan beberapa aktivis mulai berkumpul untuk membentuk partai ini. Mantan petinggi Partai Demokrat, Mirwan Amir pun bergabung dengan PKN ini. Mirwan yang didapuk sebagai bendahara partai.
Bantu Sandungan Parpol Baru untuk Lolos Parlemen
Pengamat politik dari Universitas Andalan Asrinaldi menilai kemunculan partai baru tersebut sebagai fenomena wajar menjelang pemilu. Fenomena yang didorong oleh keinginan para elite politik untuk menjadi penguasa. Tanpa melihat bagaimana kontestasi politik yang ketat dan ambang batas parlemen, katanya.
“Bagi partai baru peluang untuk mendapatkan dukungan publik ini memang berat. Ini karena basis ideologi dan segmen pemilih mereka tidak jauh berbeda dengan partai yang sudah ada,” ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa (9/11/2021).
Berdasarkan Pasal 414 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, setiap partai politik peserta pemilu mesti memenuhi ambang batas perolehan suara minimal 4 persen dari total suara sah secara nasional, agar bisa mendapatkan kursi sebagai anggota DPR.
“Pengalaman tahun 2019 banyak partai baru yang bertumbangan,” timpal Asrinaldi.
Pada Pemilu 2019, dari 16 partai yang menjadi peserta, hanya 9 partai yang berhasil lolos ke DPR RI. Partai yang tidak lolos yakni, Partai Persatuan Indonesia, Partai Berkarya, PSI, Partai Hanura, PBB, Partai Garuda, dan PKPI. Bahkan rata-rata perolehan suara mereka tak melebihi 3 persen.
Bahkan Partai Hanura yang notabene sudah langganan jadi parpol yang lolos ambang batas parlemen di dua pemilu, yaitu 2009 dan 2014, harus terpental dari Senayan pada Pemilu 2019. Partai yang berdiri pada November 2006 ini mampun meraih 18 kursi DPR pada Pemilu 2009 setelah mendapat sebanyak 3.922.870 suara (3,8%). Saat itu ambang batas parlemen hanya 2,5%.
Pada Pemilu 2014, Partai Hanura kembali masuk parlemen dan mendapat 16 kursi (2,9%) di DPR RI setelah mendapat sebanyak 6.579.498 suara (5,26%). Perolehan suara naik, tapi kursi yang didapatkan di parlemen turun. Saat itu, ambang batas parlemen adalah 3,5%.
Partai Hanura justru gagal mendapatkan kursi di DPR RI pada Pemilu 2019 karena hanya mendapat sebanyak 2.161.507 suara (1,54%) yang tidak memenuhi ambang batas parlemen 4%.
Sementara itu, Peneliti Politik dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati mengklasifikasikan partai politik baru tersebut dalam tiga kelompok: kuda hitam, free riders, dan partai fusi.
Partai baru bisa menjadi kuda hitam tergantung dari tawaran narasi baru dari ideologi yang mereka yakini. Seperti yang pernah dilakukan oleh Partai Gerindra di 2009 dengan jargon “Kemandirian Bangsa,” PSI di 2019 dengan “Progresif itu Kita,” dan Nasdem di 2014 dengan “Restorasi Indonesia.”
“Saya lihat dari beberapa partai baru sekarang belum punya platform ideologi yang kuat dan narasinya kurang bergema di ruang publik,” ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa (9/11/2021).
Mendongkrak Suara
Melihat tantangan yang cukup besar yang mesti diemban partai politik baru, Asrinaldi merasa mereka mesti memiliki figur nasional yang berkompeten dan dihormati masyarakat. Figur macam ini akan berfungsi sebagai mesin pendulang suara atau vote getter.
Formula memasang “figur nasional” masih relevan untuk konteks politik Indonesia hari ini. Sebab pemilih Indonesia masih berorientasi pada figur dan bukan ideologi, kata Asrinaldi.
“Menurut saya, selain tokoh di tingkat nasional sebagai figur pemersatu, peru juga vote getter dari tokoh lokal yang diterima oleh masyakat lokal, terutama di tingkat terendah seperti kabupaten/kota,” ujarnya.
Sayangnya tak mudah memasang figur nasional sebagai vote getter. Menurut Wasisto, hal tersebut tergantung daya kuat kharisma sang figur yang berkelindan dengan popularitasnya di level nasional.
Perihal popularitas, hal itu tak terlepas dari faktor pengaruh informal terhadap proses politik dan pemerintahan nasional dan jejaring dengan elite di atas dan akar rumput. “Formula ini bisa berhasil asalkan figur itu punya modal material kuat dan figur ini punya pengalaman panjang di pemerintahan,” ujarnya.
Oleh sebab itu, kehadiran partai baru bisa pragmatis dan menjadi free riders. Ketika mereka menyadari tak memiliki kesempatan lolos ke parlemen, kata Wasisto, mereka memilih bergabung sebagai koalisi partai penguasa, dan berharap mendapatkan jatah kursi sebagai pejabat publik.
“Opsi realistis bagi partai baru yang belum dapat kursi di pemilu. Itu sudah menjadi pola di Pemilu 2019 lalu. Di mana PSI dan Perindo kemudian dapat jatah wamen manakala menjadi “endorser” Jokowi ketika Pilpres 2019,” tukasnya.
Keyakinan Partai Baru
Ketua Bidang Pemenangan Pemilu (Bapilu) Partai Buruh Ilhamsyah sangat yakin partainya bisa menembuh batas ambang parlemen 4 persen. Mengingat basis masa mereka yang berasal dari kelas pekerja cukup besar.
Menurut dia, terdapat 50 juta pekerja formal dan 70 juta pekerja informal. Terlebih lagi Partai Buruh saat ini didukung oleh 11 organisasi pekerja besar. “Dengan jumlah angkatan kerja yang luas sebagai kontituen, tentu kami sangat optimis,” ujarnya kepada reporter Tirto.
Namun ia mengatakan hal yang menjadi konsen utama partainya saat ini ialah lolos uji verifikasi di KPU.
Sementara Ketua Umum PKN I Gede Pasek Suardika juga belum memikirkan soal strategi untuk menembus ambang batas parlemen. Saat ini PKN masih mempersiapkan memenuhi persyaratan administrai sebagai peserta pemilu.
Meski demikian, ia tetap optimistis partainya mampu menjawab setiap tantangan politik di kemudian hari. Dengan kunci kerja keras antarelemen PKN pusat dan daerah, katanya.
“Soal bagaimana nanti hasil pemilu adalah tahapan atau etape perjuangan selanjutnya. Setiap etape adalah berat sehingga harus dikerjakan dengan fokus dan bertahap,” ujarnya kepada reporter Tirto, Selasa (9/11/2021).