Panggung Politik – Draf final Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP mengatur pasal penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 351.
“Setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II,” demikian bunyi Pasal 351 ayat (1) draf final RKUHP.
Dalam bab penjelasan mengungkapkan ketentuan tersebut dibuat agar kekuasaan umum atau lembaga negara dihormati.
“Yang dimaksud dengan “kekuasaan umum atau lembaga negara” antara lain Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan Republik Indonesia, atau pemerintah daerah,” demikian diatur dalam penjelasan.
Ancaman pidana naik menjadi maksimal tiga tahun bila tindak pidana mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat. Hal ini diatur di Pasal 351 ayat (2).
Baca Juga : Polri: Penentuan pasal untuk dr Lois tunggu pemeriksaan selesai
Kemudian, Pasal 351 ayat (3) menyatakan tindak pidana penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara hanya bisa dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina.
Pasal 352 ayat (1) menyatakan setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara maksimal dua tahun penjara.
Aliansi Nasional Reformasi KUHP sebelumnya menilai pasal tindak pidana penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara ini berpotensi menjadi pasal karet yang bisa mengekang hak dan kebebasan warga negara.
“Pasal ini berpotensi menjadi pasal karet. Dan juga dapat menjadi jelmaan dari pasal subversif,” kata perwakilan Aliansi, Erasmus Napitupulu dalam keterangan tertulis, Kamis, 10 Juni 2021.
Menurut Erasmus, pasal tersebut tidak hanya kabur dan multitafsir, tetapi juga sudah tak relevan lagi dengan perkembangan nilai-nilai sosial dasar masyarakat demokratik yang modern. Selain itu, kata dia, hukum pidana tentang penghinaan tak boleh digunakan untuk melindungi suatu hal yang sifatnya subyektif, abstrak, dan merupakan suatu konsep.
Baca Juga : Kepala Daerah Jadi Tersangka Korupsi, Partai Politik dan Sistem Pemilu Dinilai Perlu Perbaikan