Site icon www.panggungpolitik.com

Ali Mochtar Ngabalin Bicara tentang Moderasi Beragama dan Suatu Keniscayaan

Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin, S.Ag., M.Si

Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin, S.Ag., M.Si

PanggungPolitik – Secara umum, moderasi berakar dari kata moderat yang berarti sikap pertengahan. Dalam sejarahnya, kata moderat muncul dalam dunia poltik, adanya dua kutub yang saling berlawanan, satu kutub pendukung utama pemerintah, dan kutub lainnya merupakan oposisi dan pemberontak, penengah dari kedua kutub tersebut disebut sebagai kubu ‘moderat’, atau lebih tepatnya, kubu penengah.

Pada perkembangan selanjutnya, terminologi moderat lalu digunakan dalam cara pandang terhadap paham keagamaan dan pengamalan dalam beragama.

Karena itu, saya akan paparkan substansi moderasi beragama dalam aspek keyakinan dan pengamalan sesuai agama Islam yang dapat diterima oleh agama dan keyakinan mana pun dan didukung oleh konstitusi.

Moderasi dalam terminologi agama Islam adalah sikap pertengahan dalam beragama, sebagaimana Firman Allah, “Dan yang demikian itu Kami telah menjadikan kalian umat Islam sebagai umat pertengahan agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul [Muhammad] menjadi saksi atas perbuatan kalian”, (QS. Al-Baqarah: 143).

Ayat ini jelas bahwa umat Islam adalah penganut agama yang pertengahan sesuai makna ayat di atas, dan jika merujuk pada penafsiran dari para mufassir klasik maupun kontemporer. Salah satunya, Fayiz bin Sayyaf dalam “Tafsir Ash-Shaghir”, menulis, Demikian pula Kami telah menjadikan kalian umat pertengahan yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas manusia dan agar Rasul [Muhammad] menjadi saksi atas kalian.

Karena itu, Jika moderasi dikonversi dalam keyakinan berarti menerima secara legowo perbedaan sebagai sebuah keniscayaan. Perbedaan dimaksud adalah adanya perbedaan keyakinan yang terjadi di antara sesama makhluk Allah. Sebab memang dalam pandangan Al-Qur’an, sekalipun Allah menekankan agar manusia hendaknya beriman dan bertaqwa, tetapi di saat yang sama Allah juga memberikan pilihan pada hamba-Nya untuk memilih salah satu dari dua jalan, “Serta Kami juga telah menunjukkan kepadanya dua jalan [selamat dan celaka]”, (QS. Al-Balad: 10).

Sebagai orang Islam wajib meyakini, bahwa selama kita taat menjalankan perintah Allah dan menjauhi segenap larangannya, maka kita berada pada jalan yang selamat. Namun bagi mereka yang berada di luar jalur keimanan dalam perspektif agama Islam, pun berhak mengklaim jika mereka berada dalam jalan yang bernar dan selamat menurut ajaran dan kepercayaan masing-masing agama.

Tidak boleh saling mengusik antarsesama penganut agama, sebab kelak di hari pembalasan semua orang pun dihitung kebaikannya secara personal bukan kolektif.

Islam pun sangat menekankan agar umatnya tidak perlu ikut mencampuri tuhan dan sesembahan agama lain, tetapi uruslah agamamu sendiri, Lakum diinukum waliya diin, Bagimu agamu, bagiku agamaku, (QS. Al-Kafirun: 06).

Di sinilah moderasi itu sangat diperlukan, dengan memahami perbedaan (diversity) antar sesama penganut agama maka kita dapat menerima agama apa pun untuk hidup bersama dalam bingkai ‘bhinneka tunggal ika’.

Maka wajib berbuat baik pada teman sejawat walau dia beda agama, apakah Protesten, Katolik, Hiundu, Buddha, Konghuchu, dan seterusnya, demikian terhadap tetangga dan saudara yang beda keyakinan, hak-hak sebagai tetangga dan saudara tetap ditunaikan, baik semasa hidup hingga wafat sekalipun, tetap hotmat, bahkan Nabi saja, berdiri menghormati jenazah Yahudi yang lewat di depannya.

Jadi jelas, sangat terang, seterang mata hari siang, bahwa agama Islam sangat menghargai toleransi dan tidak berlebihan (ghuluw) dalam menyiarkan ajarannya di depan penganut dan pemilik keyakinan lain.

Tapi tetap respek dan menunaikan hak-hak yang mereka memilik, khususnya dalam bingkai sosial kemasyarakatan.

Karena itu, terminologi kafir hanya ada dalam internal agama Islam, dan setiap agama dan kepercayaan pun memiliki terminologi itu. Ketika berada dalam lingkup negara maka semua sama di mata hukum, dan sebagai warga negara.

Maka, tidak boleh pula, jika ada penganut agama lain yang ragu pada agamanya sendiri lalu menarik dan menyeret orang lain untuk ragu pada agama masing-masing dan membuat slogan, “semua agama sama”, atau “semua agama benar”, atau “semua agama selamat”.

Tentu yang tepat adalah, “semua agama sama di mata hukum atau di depan negara, wajib masing-masing dilindungi hak-haknya untuk menjalankan agama mereka”, dan “semua agama benar menurut penganutnya masing-masing”, serta “semua agama selamat menurut keyakinan para penganut setiap agama”.

Begitulah pentingnya moderasi dalam memahami agama sehingga dapat menerima eksistensi agama lain untuk hidup berdampingan dengan damai dan sentosa.

Sebenarnya moderasi beragama ini sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad dalam sejarah perjalanan umat Islam, itulah yang dikenal sebagai “Piagam Madinan” yang substansinya agar setiap warga negara saling menghargai saling menghormati keyakinan dan siap berjuang melawan musuh yang mengganggu dan mengacau keutuhan negara.

Poin berikutnya, adalah moderasi dalam menjalankan agama. Karena saya beragama Islam, maka penekanan tulisan ini akan memaparkan contoh moderasi dalam beragama sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad.

Sahabat Nabi, Utsman bin Mazh’un yang dikenal sebagai sosok yang zuhud dan menjauhi dunia. Ia juga ikut hijrah ke Madinah dan terus menunjukkan ketekunannya dalam beribadah, bahkan memilih jalan hidup dalam kesederhanaan dengan cukup ekstrim (ghuluw), menolak segala kesenangan duniawi, termasuk berpuasa terus-menerus dan meninggalkan keluarganya demi ibadah.

Akhirnya, suatu hari, istri Utsman bin Mazh’un mengadu kepada Nabi Muhammad bahwa suaminya sangat sedikit memberikan perhatian kepada keluarganya karena terlalu sibuk beribadah.

Nabi Muhammad pun memanggil Utsman bin Mazh’un dan menegurnya dengan lembut. Beliau bersabda, “Sesungguhnya tubuhmu memiliki hak atasmu, matamu memiliki hak atasmu, keluargamu memiliki hak atasmu, dan tamumu memiliki hak atasmu.”

Dalam teguran tersebut, Nabi Muhammad mengajarkan bahwa dalam beribadah, seorang muslim harus tetap menjaga keseimbangan antara hak-hak Allah, hak-hak diri sendiri, dan hak-hak orang lain.

Dan itulah prinsip moderasi dalam pengamalan agama, menjaga kesimbangan (tawaazun) antara kewajiban agama dan kebutuhan duniawi. Kita wajib ibadah, tetapi diri juga butuh asupan gizi, butuh kalori, karbohidrat, dan sejenisnya, dan itu semua diperoleh dengan cara bekerja, dan orang bekerja butuh otot dan otak.

Pada akhirnya, Utsman bin Mazh’un pun menyadari kesalahannya dan mulai memperbaiki cara hidupnya. Ia kemudian menjadi contoh bagi sahabat lainnya dalam menjaga keseimbangan antara ibadah dan kewajiban duniawi.

Riwayat senada dari Imam Ahmad dan dihasankan oleh Al-Albani bahwa suatu ketika Nabi memanggil Utsman bin Mazh’un dan bertanya, Wahai Utsman, aku tidak diutus untuk menyeru orang agar jadi rahib. Apakah engkau membenci sunnahku? ‘Tidak, ya Rasul’, jawabnya.

Lalu Nabi bersabda, ‘Sesungguhnya sunnahku adalah shalat dan tidur, puasa dan berbuka, menikah dan cerai, dan barang siapa yang membenci sunnahka maka bukan dari golonganku. Wahai Utsman. Sesungguhnya keluargamu punya hak terhadapmu, dan matamu juga punya hak pada dirimu”.

Demikianlah penekanan Nabi, sebagai manusia teladan sepanjang zaman. Mewajibkan umatnya agar hidup penuh keseimbangan, moderat, tidak terlampau guhuluw atau berlebihan dalam mengamalkan agama, dan tidak pula meremahkan hak-hak orang lain terhadapnya, serta tetap menjalankan kewajiban sebagai hamba Allah, bertauhid dan beribadah penuh keikhlasan dengan megikuti contoh dari Nabi. Demikianlah moderasi dalam beragama. Wallahu A’lam!

Penulis: Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin, S.Ag., M.Si

Baca Juga: Marshel Widianto Mundur dari Pilkada Tangsel 2024, Alihkan Dukungan ke Benyamin Davnie-Pilar Saga

Exit mobile version