Panggungpolitik – Pemerintah bersama DPR RI tengah menggodok revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Pembahasan ini berlangsung secara tertutup pada Jumat (14/3/2025) hingga Sabtu (15/3/2025) di Hotel Fairmount, Jakarta, dengan target penyelesaian sebelum masa reses DPR pada Jumat (21/3/2025).
Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menyampaikan harapannya agar pembahasan revisi ini selesai pada bulan Ramadhan.
“Dengan harapan, ini bisa selesai pada bulan Ramadhan. Kami harapkan ini selesai sebelum reses para anggota DPR,” ujarnya dalam rapat kerja bersama Komisi I DPR RI, Selasa (11/3/2025).
Namun, revisi ini menuai pro dan kontra di masyarakat, terutama terkait isu kembalinya dwifungsi ABRI. Salah satu poin kontroversial adalah memungkinkan prajurit TNI aktif mengisi jabatan sipil di 16 kementerian dan lembaga negara.
Sebelumnya, Pasal 47 ayat (2) UU TNI hanya mengizinkan anggota TNI aktif menjabat di 10 lembaga, seperti Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Negara hingga Badan Narkotika Nasional. Dalam revisi ini, enam lembaga baru ditambahkan, termasuk BNPB, BNPT, dan Kejaksaan Agung.
Selain itu, RUU TNI juga mencakup perubahan usia pensiun. Usia pensiun bintara dan tamtama akan dinaikkan menjadi 55 tahun, sementara perwira menjadi 58 hingga 62 tahun tergantung pangkat.
Khusus prajurit yang menjabat sebagai perwira bintang empat, usia pensiun dapat diperpanjang hingga 65 tahun sesuai kebijakan presiden.
Dalam revisi tersebut, pemerintah juga mengusulkan perubahan kedudukan TNI. Sebelumnya, TNI berada di bawah presiden dalam pengerahan kekuatan militer dan di bawah koordinasi Departemen Pertahanan untuk strategi pertahanan.
Namun, RUU ini mengusulkan agar TNI berada langsung di bawah koordinasi Kementerian Pertahanan.
Tugas prajurit TNI juga akan bertambah. Dari 14 operasi militer selain perang (OMSP) yang diatur sebelumnya, pemerintah berencana menambah tiga tugas baru, seperti operasi pemberantasan narkoba dan penanganan serangan siber.
Anggota Komisi I DPR RI, Tubagus Hasanuddin, menegaskan, “Tapi yang jelas TNI tidak ikut dalam penegakan hukumnya,” ujarnya.
Namun, sejumlah pihak khawatir revisi ini justru membawa masalah baru. Koordinator Kontras, Dimas Bagus Arya Saputra, menyoroti minimnya partisipasi publik dalam pembahasan revisi. “DPR harusnya melakukan telaah lebih jauh. Proses (pembuatan) cukup cepat membuat ruang publik memberikan aspirasi dan masukan jadi sangat minim,” ucapnya.
Menurut Kontras, revisi UU TNI berpotensi mengancam profesionalisme kerja TNI, menghidupkan kembali dwifungsi ABRI, hingga meningkatkan risiko kekerasan. Mereka mendesak pemerintah dan DPR untuk lebih transparan dan inklusif dalam menyusun revisi ini.
Dengan berbagai perubahan yang direncanakan, revisi UU TNI menjadi topik hangat yang menyangkut masa depan militer Indonesia.
Di satu sisi, revisi ini bertujuan meningkatkan efisiensi dan relevansi peran TNI di era modern. Namun, di sisi lain, revisi ini memunculkan kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan wewenang dan kembalinya militer dalam ranah sipil.