Panggungpolitik – Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat resmi menandatangani kesepakatan dagang yang mencakup sejumlah aspek penting, salah satunya terkait transfer data pribadi lintas negara. Dalam pernyataan resminya pada Senin, 22 Juli 2025 waktu setempat, Gedung Putih menyatakan bahwa Indonesia akan memberikan kepastian hukum dalam hal pengelolaan data pribadi warga negaranya kepada Amerika Serikat.
“Indonesia akan memberikan kepastian terkait kemampuan untuk mentransfer data pribadi ke luar dari wilayahnya ke Amerika Serikat,” demikian kutipan resmi dari pernyataan Gedung Putih mengenai Kerangka Perjanjian Perdagangan Resiprokal antara Amerika Serikat dan Indonesia, yang diunggah di laman resminya seperti dikutip pada Kamis (24/07).
Kesepakatan ini menjadi bagian dari upaya kedua negara untuk memperkuat hubungan perdagangan, terutama di sektor jasa dan investasi digital. Amerika Serikat menilai langkah Indonesia sebagai bentuk komitmen dalam menghapus hambatan yang selama ini menghambat pelaku usaha AS, khususnya dalam akses dan pemrosesan data.
“Melalui pengakuan Amerika Serikat sebagai negara atau yurisdiksi yang menyediakan pelindungan data yang memadai berdasarkan hukum Indonesia,” bunyi pernyataan Gedung Putih dalam dokumen Fakta Kesepakatan Dagang AS-Indonesia.
Transfer data pribadi ke luar negeri sendiri telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP). Beleid tersebut menegaskan bahwa pengiriman data pribadi oleh pengendali dan/atau prosesor ke luar negeri hanya dapat dilakukan apabila negara tujuan memiliki sistem pelindungan data yang sepadan atau lebih tinggi dari yang berlaku di Indonesia.
Jika tidak, pengendali data wajib memastikan ada perjanjian yang menjamin keamanan data, atau memperoleh persetujuan langsung dari pemilik data pribadi. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 56 UU PDP, sementara sanksi administratif bagi pelanggaran tertera pada Pasal 57.
Selain itu, Pasal 62 UU PDP membuka ruang kerja sama internasional antarnegara maupun organisasi internasional, selama tetap mengacu pada peraturan dalam negeri dan prinsip hukum internasional.
Terkait kesepakatan dagang yang mencakup transfer data pribadi, Alfons Tanujaya, pakar keamanan siber dan forensik digital dari Vaksincom, meminta publik tidak terburu-buru dalam menilai isi perjanjian.
“Kita lihat saja detailnya dulu dan jangan berkomentar terlalu jauh sebelum tahu detailnya,” ujar Alfons kepada Tempo, Rabu, 23 Juli 2025.
Alfons menilai kesepakatan tersebut membawa dua sisi: peluang dan tantangan. Di satu sisi, perusahaan penyedia layanan seperti AWS, Google, dan Microsoft yang sebelumnya diwajibkan membangun pusat data di Indonesia kini berpotensi menyimpan data langsung di Amerika Serikat.
“Dengan dibolehkannya menyimpan data atau backup di Amerika, tentu biayanya relatif lebih rendah daripada Indonesia,” ujarnya.
Namun, di sisi lain, Alfons mengingatkan potensi hilangnya kontrol data oleh pemerintah Indonesia. Ia menyebut, aplikasi asal Amerika seperti world.id yang sebelumnya dibatasi, kini bisa kembali mengakses data pribadi WNI selama data tersebut disimpan di AS.
“Aplikasi yang pernah dibatasi seperti world.id bisa kembali mengelola data pribadi orang Indonesia, asalkan data tersebut disimpan di Amerika Serikat,” katanya.
Dalam konteks perdagangan yang lebih luas, kesepakatan ini juga menjadi penyeimbang dari kebijakan tarif Trump yang selama beberapa tahun terakhir meningkatkan bea masuk sejumlah produk impor, termasuk dari Indonesia. Dengan adanya kerja sama ini, diharapkan terjadi saling pembukaan akses pasar serta pelonggaran terhadap hambatan tarif dan nontarif, yang menjadi keluhan utama dalam hubungan dagang kedua negara.
Kesepakatan ini menjadi langkah strategis yang mencerminkan dinamika baru dalam hubungan impor-ekspor, digitalisasi, dan kedaulatan data antara Indonesia dan Amerika Serikat. Di tengah kebijakan dagang global yang semakin kompetitif, pengelolaan data pribadi kini menjadi bagian dari negosiasi strategis dan bukan sekadar isu tekni