Panggungpolitik – Konflik bersenjata yang meletus antara Thailand dan Kamboja sejak Kamis, 24 Juli 2025, di wilayah perbatasan diprediksi akan berdampak signifikan terhadap sejumlah sektor di Indonesia.
Meski belum terasa secara langsung, berbagai potensi gangguan mulai dari terganggunya rantai pasok hingga peluang peningkatan sektor pariwisata mulai menjadi perhatian.
Kata kunci seperti perang Thailand Kamboja, dampak perang Thailand Kamboja, pariwisata Indonesia, dan PHK menjadi sorotan utama.
Salah satu sektor yang paling terancam akibat konflik ini adalah industri otomotif dan elektronik. Thailand merupakan mitra strategis Indonesia dalam penyediaan suku cadang kendaraan dan komponen elektronik.
Ketegangan yang berlangsung terus-menerus dikhawatirkan akan memengaruhi kelancaran impor dari negeri Gajah Putih.
“Kalau kita tidak siap dan mewanti-wanti, bisa berdampak ke gangguan rantai pasok industri otomotif dan elektronik sehingga bisa picu PHK. Kalau PHK merebak, maka pendapatan masyarakat akan merosot tajam,” jelas Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), pada Selasa, 29 Juli 2025.
Bhima menambahkan, ketergantungan industri otomotif Indonesia terhadap suku cadang dari Thailand cukup tinggi.
Jika konflik berkepanjangan, biaya logistik bisa melonjak dan pengiriman pun terganggu, yang pada akhirnya mengancam efisiensi dan keberlangsungan tenaga kerja dalam negeri.
Selain sektor manufaktur, konflik ini juga berimplikasi pada sektor digital, terutama industri judi online. Sejumlah besar situs judi daring yang menjangkau pasar Indonesia diketahui berbasis di Kamboja.
Dalam konteks ini, gangguan terhadap infrastruktur digital di wilayah konflik justru dinilai bisa membawa dampak positif.
“Harapannya ini terganggu karena perang, sehingga judi onlinenya bisa berkurang dan itu bisa menguntungkan masyarakat Indonesia,” ungkap Bhima.
Di sisi lain, ketidakstabilan yang terjadi di Thailand membuka peluang baru bagi sektor pariwisata Indonesia. Wisatawan asing diperkirakan akan mengalihkan tujuan liburannya ke negara-negara yang lebih aman dan stabil, termasuk Indonesia.
Sekretaris Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, Perry Markus, menyatakan bahwa Bali berpotensi menjadi destinasi alternatif utama menggantikan Thailand.
“Pola tersebut bisa saja terjadi karena turis ingin berwisata di tempat yang aman dan nyaman,” katanya, dikutip Selasa, 29 Juli 2025.
Peluang ini semakin diperkuat oleh data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Bali yang menunjukkan tingkat okupansi hotel per Mei 2025 sudah mencapai 58 persen, dan jumlah pergerakan penumpang internasional di Bandara I Gusti Ngurah Rai pada semester pertama 2025 telah menembus angka 7,2 juta orang. Bali dinilai cukup siap jika terjadi lonjakan wisatawan asing.
Meskipun ketegangan terus berlangsung, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia memastikan bahwa hingga saat ini belum ada laporan mengenai warga negara Indonesia (WNI) yang menjadi korban akibat perang Thailand-Kamboja.
“Berdasarkan pemantauan dan komunikasi dengan berbagai pihak, tidak terdapat informasi adanya WNI yang menjadi korban konflik bersenjata tersebut,” ujar Judha Nugraha, Direktur Pelindungan WNI Kemlu RI.
Pemerintah melalui KBRI di Phnom Penh dan Bangkok juga telah mengimbau seluruh WNI untuk meningkatkan kewaspadaan, menjauhi wilayah konflik, dan selalu mengikuti informasi dari otoritas setempat. Kontak darurat juga telah disediakan bagi WNI yang berada di wilayah konflik.
Pecahnya konflik bersenjata ini dipicu oleh sengketa lama atas Candi Preah Vihear—situs warisan dunia UNESCO dari abad ke-11.
Setelah ketegangan selama berminggu-minggu yang diperparah oleh insiden ranjau darat dan saling usir diplomat, bentrokan bersenjata akhirnya pecah. Artileri dan roket dilaporkan menghantam wilayah di sekitar candi tersebut.
Kementerian Luar Negeri RI tetap meyakini bahwa penyelesaian damai antara kedua negara masih memungkinkan dan sangat diperlukan guna menjaga stabilitas kawasan.
–