Panggungpolitik – Gelombang protes publik terhadap sejumlah pernyataan kontroversial para wakil rakyat belakangan ini mendorong partai politik mengambil langkah tegas. Beberapa anggota DPR resmi dinonaktifkan dari posisinya sejak 1 September 2025.
Mereka antara lain Ahmad Sahroni dan Nafa Urbach dari Partai NasDem, Eko Patrio dan Surya Utama atau Uya Kuya dari PAN, serta Adies Kadir dari Partai Golkar.
Kebijakan tersebut disampaikan secara resmi oleh masing-masing partai pengusung. Langkah ini dimaksudkan sebagai bentuk tanggung jawab moral sekaligus menjaga nama baik partai di tengah sorotan publik. Namun, status nonaktif tersebut tidak otomatis membuat mereka kehilangan kursi di DPR RI.
Inilah yang kemudian menimbulkan pertanyaan di tengah masyarakat: mengapa anggota DPR yang sudah dinonaktifkan oleh partai tidak langsung dipecat dan digantikan?
Jawabannya terletak pada aturan hukum yang mengatur kedudukan anggota dewan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), seorang anggota DPR hanya bisa diberhentikan secara permanen melalui mekanisme tertentu.
Pemberhentian bisa terjadi apabila anggota yang bersangkutan mengundurkan diri, meninggal dunia, atau diberhentikan oleh Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) setelah terbukti melanggar kode etik berat dan hukum.
Dengan kata lain, partai politik memang memiliki kewenangan untuk menonaktifkan kadernya dari fraksi, mencopot jabatan internal, atau melaporkannya ke MKD. Akan tetapi, partai tidak bisa secara sepihak mencabut status keanggotaan DPR seseorang. Hal itu karena kursi DPR dianggap milik rakyat yang memberikan suara pada pemilu, bukan milik partai semata.
Situasi inilah yang kini terjadi pada Ahmad Sahroni, Nafa Urbach, Eko Patrio, Uya Kuya, dan Adies Kadir. Walau sudah dinonaktifkan oleh partai masing-masing, mereka tetap tercatat sebagai anggota DPR RI. Bahkan, sesuai aturan yang berlaku, mereka masih menerima gaji dan tunjangan sebagai wakil rakyat sampai ada keputusan hukum final mengenai statusnya.
Kondisi tersebut sering menimbulkan kritik dari publik. Sebagian masyarakat menilai kebijakan nonaktif tanpa pemecatan penuh justru tidak memberikan efek jera. Di sisi lain, kalangan ahli hukum menegaskan bahwa mekanisme hukum yang ada bertujuan untuk menjaga stabilitas politik dan mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh partai.
Pakar politik menilai, polemik ini bisa menjadi momentum untuk mengevaluasi kembali regulasi tentang pemberhentian anggota DPR. Tujuannya agar terdapat keseimbangan antara hak rakyat, kewenangan partai, dan kepastian hukum bagi anggota dewan.
Pada akhirnya, fenomena anggota DPR yang dinonaktifkan namun tidak kehilangan jabatan menyoroti pentingnya penegakan etika politik di Indonesia. Transparansi, akuntabilitas, dan keberanian partai politik dalam mengawal kadernya menjadi kunci agar kasus serupa tidak terulang. Tanpa itu, kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif akan terus tergerus.