Panggungpolitik – Revisi Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) memicu polemik luas di masyarakat.
Beberapa kelompok masyarakat sipil, termasuk Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), mengkritik sejumlah pasal dalam RUU TNI, yang dianggap berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi militer pasca-Orde Baru.
“YLBHI menduga munculnya gagasan revisi UU TNI adalah upaya panjang penguatan kembalinya dwifungsi ABRI, di mana tentara menjadi aktor politik dan bisnis pasca-Reformasi,” bunyi pernyataan resmi YLBHI, Senin (17/3).
Kelompok ini juga menyoroti adanya perluasan peran TNI di ranah sipil, yang dianggap bertentangan dengan amanat konstitusi dan semangat reformasi sektor keamanan.
Proses Pembahasan RUU TNI Diprotes
Selain isi revisi, proses pembahasan RUU TNI oleh DPR dan pemerintah juga mendapat kritik tajam. Koalisi Reformasi Sektor Keamanan, termasuk KontraS, menilai proses pembahasan berlangsung tertutup dan tidak transparan.
Pembahasan tersebut diketahui berlangsung di sebuah hotel dengan alasan ruang rapat DPR sedang direnovasi. Koalisi sipil meminta pembahasan ini dihentikan.
“Kami dari Koalisi Reformasi Sektor Keamanan, pemerhati di bidang pertahanan, meminta agar pembahasan dihentikan karena tidak sesuai dan diadakan secara tertutup,” tegas salah satu perwakilan koalisi.
Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Maruli Simanjuntak merespons kritikan yang menyebut RUU ini membuka jalan bagi dwifungsi militer. Maruli menyebut tuduhan tersebut sebagai serangan terhadap institusi TNI dan menilai isu tersebut mengada-ada.
“Jadi, tidak usah ramai bikin ribut di media, ini itu lah, Orde Baru lah. Tentara dibilang hanya bisa membunuh dan dibunuh. Menurut saya, otak-otak seperti ini, kampungan menurut saya,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (13/3).
Pasal-Pasal Krusial dalam RUU TNI
Setidaknya ada empat pasal dalam RUU TNI yang menjadi sorotan publik. Pasal-pasal tersebut berkaitan dengan peran TNI di luar tugas militer, penempatan prajurit di jabatan sipil, dan batas usia pensiun.
-
Pasal 7 Ayat 2
Pemerintah mengusulkan penambahan tugas TNI di luar perang, termasuk menangani ancaman siber, menyelamatkan WNI di luar negeri, dan membantu menangani penyalahgunaan narkotika. -
Pasal 47
Penempatan TNI di jabatan sipil diperluas dari 10 menjadi 16 posisi. Posisi tambahan mencakup Bakamla, BNPB, BNPT, Kejaksaan Agung, dan BNPP. -
Pasal 53
Batas usia pensiun prajurit diatur berdasarkan pangkat, dengan rincian:- Bintara dan Tamtama: 55 tahun
- Perwira hingga Kolonel: 58 tahun
- Perwira tinggi bintang 1-3: 60-62 tahun
- Jenderal bintang 4: 63 tahun (dapat diperpanjang dua kali sesuai kebutuhan).
Implikasi RUU TNI
Perubahan yang diusulkan dalam RUU TNI menimbulkan kekhawatiran mengenai kembali bercampurnya peran militer dalam urusan sipil. Sementara itu, pihak TNI menyatakan bahwa perubahan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas peran militer dalam menghadapi tantangan keamanan modern, seperti ancaman siber dan penanganan bencana.
Namun, penolakan keras dari masyarakat sipil menyoroti pentingnya menjaga prinsip reformasi TNI yang telah dijalankan sejak dua dekade terakhir. Pembahasan RUU ini terus menjadi sorotan publik, terutama dalam memastikan bahwa revisi yang dihasilkan tidak mengorbankan prinsip demokrasi dan supremasi sipil.