Panggungpolitik – Kebijakan terbaru Pemerintah Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yang menetapkan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga ±250% memunculkan reaksi beragam di tengah masyarakat.
Keputusan ini menyasar langsung kelompok-kelompok rentan seperti petani, pelaku usaha kecil, serta pemilik lahan yang selama ini menggantungkan kestabilan tarif pajak untuk menopang kondisi ekonomi pasca-pandemi.
Pengumuman resmi mengenai penyesuaian tarif PBB ini disampaikan oleh Bupati Pati, Sudewo, melalui laman resmi Humas Kabupaten Pati.
Dalam pernyataannya, ia menyebutkan bahwa kenaikan signifikan tersebut dilakukan karena tidak adanya perubahan tarif PBB selama 14 tahun terakhir.
“Kami kini sedang berdiskusi dengan para camat dan PASOEPATI untuk membahas penyesuaian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Telah disetujui bahwa kenaikannya sekitar ±250% karena PBB sudah lama tidak mengalami peningkatan, yaitu selama 14 tahun,” jelas Sudewo.
Lebih lanjut, ia mengemukakan bahwa penyesuaian ini ditujukan untuk mendukung percepatan pembangunan di daerah.
Ia juga membandingkan pendapatan PBB Kabupaten Pati dengan beberapa daerah lain di sekitarnya yang dinilai lebih optimal dalam menggali potensi pajak daerah.
“PBB di Kabupaten Pati hanya mencapai 29 miliar. Sementara di Kabupaten Jepara, angkanya 75 miliar, padahal Kabupaten Pati lebih besar dibandingkan Kabupaten Jepara. Kabupaten Rembang menghasilkan 50 miliar, padahal Pati punya ukuran yang lebih besar. Di Kabupaten Kudus pun 50 miliar, lagi-lagi Kabupaten Pati lebih besar,” ungkapnya.
Namun demikian, langkah ini justru memunculkan kekhawatiran di masyarakat. Banyak pihak menilai bahwa kenaikan sebesar 250% dalam waktu singkat tergolong drastis dan tidak mempertimbangkan kondisi ekonomi masyarakat saat ini
. Di tengah proses pemulihan ekonomi yang belum sepenuhnya stabil, beban tambahan berupa pajak bisa memperlebar kesenjangan sosial.
Sejumlah pengamat kebijakan publik dan tokoh masyarakat menyarankan agar kebijakan ini seharusnya dilakukan secara bertahap, sambil disertai kajian menyeluruh terhadap daya beli warga dan situasi ekonomi lokal.
Transparansi serta komunikasi terbuka juga dinilai sebagai aspek penting yang belum sepenuhnya dijalankan oleh pemerintah daerah.
Lebih jauh lagi, masyarakat menuntut kejelasan tentang alokasi dana tambahan dari kenaikan PBB ini. Jika tujuan pembangunan yang diklaim pemerintah benar-benar ingin dicapai, maka masyarakat berharap adanya bukti konkret dalam bentuk layanan publik yang membaik, pembangunan infrastruktur merata, dan dukungan terhadap sektor produktif lokal.
Mengubah kebijakan fiskal seperti tarif PBB memang merupakan hak dan kebutuhan pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah.
Namun, penting untuk diingat bahwa penerapan kebijakan tersebut harus adil dan tidak membebani masyarakat kecil secara sepihak.
Sebagai catatan penting, jika transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan dana pajak tidak terwujud, maka kebijakan ini berisiko menciptakan jarak antara pemerintah dan masyarakatnya.
Oleh karena itu, keterlibatan publik, komunikasi dua arah, dan evaluasi berkala menjadi kunci agar kebijakan ini bisa diterima secara konstruktif.