Jakarta – Pemerintah memutuskan revisi Undang-Undang (UU) tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) tidak menyentuh pasal-pasal yang dianggap pasal karet. Keputusan pemerintah menuai itu kritik.
Pemerintah menyatakan UU ITE masih diperlukan. Tujuannya untuk menghukumi dunia digital.
“Undang-Undang ITE masih sangat diperlukan untuk mengantisipasi dan menghukumi, bukan menghukum ya, dan menghukumi dunia digital. Masih sangat dibutuhkan,” kata Menko Polhukam Mahfud Md di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Kamis (29/4/2021).
Pasal-pasal dalam UU ITE yang dinilai pasal karet tidak akan diubah. Hanya saja, ada revisi semantik dalam UU ITE, seperti memasukkan penjelasan pada unsur-unsur yang ada di pasal karet.
“Untuk mengatasi kecenderungan salah tafsir dan ketidaksamaan penerapan maka dibuatlah pedoman teknis dan kriteria implementasi yang nanti akan diwujudkan dalam bentuk SKB 3 kementerian dan lembaga, yaitu Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri,” kata Mahfud Md.
“Ada revisi semantik, perubahan kelima, atau revisi terbatas yang sangat kecil berupa penambahan frasa atau perubahan frasa berupa penjelasan, di penjelasan,” sambungnya.
|
Kritik terhadap revisi UU ITE ini dilontarkan oleh 3 pihak. Ada anggota DPR RI dan dua pakar politik.
Dimulai dari anggota DPR, Didik Mukrianto. Didik menyebut penerapan UU ITE belakangan ini meresahkan masyarakat dan bisa menjadi alat kriminalisasi.
“Dalam beberapa waktu belakangan ini, tidak bisa dipungkiri perkembangan dan penerapan UU ITE, khususnya Pasal 27, 28, dan 29 memunculkan keresahan di masyarakat, bahkan menjadi alat kriminalisasi, saling melapor satu sama lain. Banyak masyarakat biasa, tokoh dan bahkan jurnalis yang ikut terjerat dan menjadi korban,” ucap Didik kepada wartawan, Minggu (2/5/2021).
UU ITE secara prinsip dibuat sebagai payung hukum untuk melindungi berbagai kepentingan, di antaranya kebebasan berbicara, menyampaikan pendapat dengan lisan dan tulisan. Selain itu, ditujukan untuk melindungi kebebasan berkomunikasi dan memperoleh informasi sebagai hak yang bersifat hak konstitusional warga negara.
Salah satu pasal dalam UU ITE dinilai multitafsir, yakni Pasal 27. Penerapannya dianggap justru tidak merujuk pada Pasal 310-311 KUHP, yang seharusnya hanya dapat diproses dengan aduan dari pihak korban langsung.
“Ditambah, pasal ini juga kerap digunakan untuk melakukan kriminalisasi terhadap konten jurnalistik. Pada praktiknya, sangat potensial Pasal 27 ayat (3) ini juga dikhawatirkan bisa digunakan untuk membungkam suara-suara kritis,” sebut Didik.
Pakar politik Universitas Al-Azhar Ujang Komarudin menilai pemerintah tidak konsisten, karena revisi UU ITE tidak menyentuh pasal-pasal yang dinilai pasal karet. Pernyataan pemerintah juga diungkit oleh Ujang.
“Secara politik tentu sepertinya pemerintah tidak mau mengubah terkait pasal (pasal yang dianggap karet) itu. Tapi apa pun itu, saya melihat publik atau masyarakat sangat kecewa, karena itu kan dijanjikan langsung oleh presiden, meminta revisi, lalu ditangkap oleh DPR untuk merevisi,” sebut Ujang kepada wartawan, Minggu (2/5).
“Tapi fakta dan kenyataannya, sampai saat ini, sampai detik ini, revisi itu hanya sekadar, mohon maaf, jualan semata, tidak pernah terjadi implementasi sebagaimana yang dituntut oleh publik,” imbuhnya.
Revisi semantik terhadap UU ITE juga diyakini tetap akan membuat masyarakat tak berani melontarkan kritik keras kepada pemerintah. Menurut Ujang, keputusan pemerintah tidak sejalan dengan semangat pembangunan demokrasi yang lebih baik.
“Ini hanya soal, mohon maaf, penafsiran pemerintah saja, menambah penjelasan dan sebagainya, tapi tidak menghilangkan substansinya. Substansinya tetap bahwa dengan pasal yang tidak diubah itu, maka publik atau masyarakat akan ketakutan dalam konteks mengkritik pemerintah itu. Di saat yang sama pemerintah ingin membangun demokrasi, katanya kan, ingin membangun keterbukaan, tapi tindakannya tidak sesuai dengan apa yang dikemukakan,” papar Ujang.
Terpisah, pendiri lembaga survei KedaiKOPI, Hendri Satrio menilai ada lima langkah yang harus dilakukan pemerintah terkait UU ITE. Pertama, pemerintah harus transparan menjelaskan mengapa revisi UU ITE tidak menyentuh pasal-pasal yang dianggap pasal karet.
Kedua, pemerintah harus lebih bisa menjamin kebebasan berpendapat. Ketiga, harus ada pernyataan dari Menko Polhukam Mahfud Md yang menyatakan bahwa jajaran kepolisian harus menterjemahkan arahan Kapolri Jenderal Listyo Sigit perihal UU ITE.
“Kemudian yang keempat, yang paling penting adalah Mahfud harus dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa pemerintah menghargai dan melindungi semua pendapat yang berbeda. Jadi jangan lagi ada orang yang dipenjara karena pendapat yang berbeda. Jadi, implementasi UU ITE itu harus seperti tujuannya di awal, jadi tidak untuk membungkam oposisi dan lawan politik,” papar Hendri.
“Satu lagi, ini Pak Mahfud terus dari kemarin. Meminta Mahfud membuka ruang dialog dengan masyarakat, mengundang akademisi, mengundang pengamat, dan yang paling penting adalah akademisi dan pengamat yang sering memberikan masukan-masukan kritis kepada pemerintah,” pungkasnya.
sumber : detikcom