Jakarta – Politik pada dasarnya adalah imajinasi. Tentang membayangkan bagaimana mengelola orang dengan kepentingan dan agenda yang berbeda agar tidak berkonflik secara vulgar. Bagaimana penjahat dan protagonis aktor menunjukkan imajinasi mereka kepada publik.
Siapa pun yang datang dengan narasi imajinatif yang dapat memukau publik memiliki peluang besar untuk memenangkan pertempuran pemilihan. Di sisi lain, bukan berarti imajinasi publik akan hilang dengan sendirinya. Ya, dunia politik juga punya mekanisme seleksi alamnya sendiri.
Dalam dunia politik, imajinasi terbagi menjadi dua jenis. Ada model imajinasi konstruktif, dan ada juga imajinasi destruktif. Imajinasi konstruktif secara sederhana dapat dipahami sebagai gaya politik yang dipandu oleh pembentukan tatanan sosial, politik, dan budaya yang demokratis. Demokrasi dalam arti sirkulasi elit dan pewarisan kekuasaan dilakukan secara konstitusional, adil, transparan dan efektif.
Sedangkan imajinasi destruktif ialah corak politik yang menghalalkan segala cara layaknya paradigma politik Machiavellian. Politik yang orientasinya bukan pada memperkuat struktur sosial-politik masyarakat demokratis, namun memperkuat dan memperpanjang umur kekuasaan dengan manuver-manuver yang inkonstitusional.
Imajinasi destruktif tumbuh dari hasrat untuk berkuasa (will to power) yang gagal dikelola. Jika kita menengok realitas politik nasional hari-hari belakangan ini, munculnya wacana tiga periode presiden bisa jadi merupakan rembesan dari apa yang disebut sebagai imajinasi politik destruktif. Imajinasi para spekulan politik di lingkaran kekuasaan yang rela menggadaikan martabatnya untuk memperpanjang masa bersenang-senang.
Ya, kekuasaan itu manis, lantaran bisa dikonversikan ke dalam berbagai macam privilese; akses pada sumber daya ekonomi, kesempatan untuk memperpanjang rantai politik dinasti, dan sebagainya, dan sebagainya.
Saya jelas tidak ingin mengajak kita semua berpikir tentang kemungkinan-kemungkinan. Apakah wacana tiga periode itu mungkin, biarlah itu menjadi ranah para spekulan politik, lembaga-lembaga survei dan siapa pun yang memang kerjanya mengkomodifikasi kemungkinan.
Lagi pula, politik kita belakangan ini memang berisi kemusykilan yang menjadi kenyataan, bukan? Siapa sangka pemenang pilpres mengajak seterunya bergabung di kekuasaan? Coba lihat para politisi yang selalu bilang “tidak mikir” atau “tidak pantas” ketika ditanya kemungkinan maju di kontestasi politik itu di kemudian hari justru yang paling trengginas mengejar kekuasaan.
Di dalam politik, kemungkinan dan ketidakmungkinan ialah dua hal yang tidak harus selalu segregatif. Keduanya bisa saja melebur dalam apa yang secara sinis disebut oleh Paul Virillo sebagai the simulacrum of truth alias simulakra kebenaran. Yakni kebenaran yang artifisial, direkaya, dan dibuat-buat.
Saya hanya ingin mengajak kita merenungi kembali hakikat kita sebagai rakyat. Di mata politisi, kita kerap hanya dianggap sebagai statistik, angka-angka, atau istilah-istilah mewah semacam constituent, smart-voter, floating-mass, dan sejenisnya. Istilah-istilah itu menempatkan kita sebagai pelayan dari mesin-mesin hasrat kekuasaan dominan. Padahal, kita adalah rakyat yang berdaulat, dan mampu memproduksi wacana dan imajinasi politiknya sendiri.
Maka, biarkanlah para spekulan politik, cukong, konsultan politik, dan para pendengung itu menjajakan imajinasi politik destruktifnya. Kita bangun sendiri imajinasi politik kita yang konstruktif; setia pada konstitusi dan demokrasi. Toh, bagaimana pun juga, kitalah pemilik suara yang akan menentukan nasib para aktor-aktor politik itu. Jika mandat itu dikhianati, bukan tidak mungkin para pemilik suara akan menghadirkan mimpi buruk bagi penguasa.
Inilah momentum kita (masyarakat sipil) untuk mengonsolidasikan kekuatan, membendung gelombang imajinasi destruktif dalam politik kita.
Bangsa ini jelas tidak kekurangan stok (calon) pemimpin yang potensial di masa depan. Bahkan, panggung politik kita bisa dibilang sangat penuh sesak oleh kandidat-kandidat pemimpin. Wacana tiga periode dengan demikian tidak lebih dari sebuah kegagalan berimajinasi secara konstruktif.
Jika politik elektoral ialah pasar dan jabatan presiden ialah produknya, maka imajinasi tiga periode itu ialah sejenis iklan yang buruk, baik dari segi estetika maupun etika. Dan layaknya iklan yang buruk, maka ia akan berdampak buruk pula para produk yang dipromosikan tersebut.
Siti Nurul Hidayah alumnus Departemen Filsafat UIN Sunan Kalijaga